Tidak ada alasan yang mendukung orang Jepang terlambat. Mengapa begitu? Selama beberapa tahun tinggal bertetanggaan dengan Doraemon, menemukan subway yang terlambat semenit dua menit, hampir tak dijumpai. Tetapi, terlambat sampai 20-30 menit itu beberapa kali terjadi. Salah satunya karena adanya peristiwa bunuh diri yang motifnya menabrakkan kereta yang akan lewat, atau cuaca buruk badai hujan lebat.
Seperti yang dikatakan oleh Edward Hall seorang ahli Antropologi berkebangsaan Amerika, orang Jepang termasuk dalam kategori Monocronic Time (M-Time). Kebalikannya, jika mengacu pada ciri-ciri Polycronic Time (P-Time), maka orang Indonesia masuk dalam kategori ini. Orang-orang dalam kategori P-Time, bisa mengerjakan lebih dari satu kegiatan dalam satu waktu. Dan lebih mementingkan hubungan kemanusiaannya. Sedangkan orang Jepang yang termasuk dalam kategori M-Time, biasa mengerjakan kegiatan tunggal dalam satu waktu, dikerjakan dengan runtut sesuai tahapan, dengan begitu hasilnya sangat berkualitas tinggi.
Dalam kesehariannya, memang terbukti orang Jepang memandang dengan memberikan nilai tinggi terhadap waktu. Karena itu, mereka tidak mbleset, bisa mewujudkan dari apa yang pernah direncanakan. Hal ini mengingatkanku pada pengalaman waktu mengikuti suatu program Pelatihan Pengajar Bahasa Jepang yang diselenggarakan Japan Foundation di Prefecture Saitama, 7 tahun silam. Program ini diikuti oleh sekitar 60 pengajar dari berbagai negara.
Baca Juga: Fakta Unik Gunung Fuji Jepang
Pelatihan dilaksanakan pada musim panas Juni sampai Agustus 2006. Rincian jadwal kegiatan Pelatihan Pengajaran Bahasa dan Budaya tersebut sudah disebar pada calon peserta 2 bulan sebelum tanggal keberangkatan dari negara masing-masing. Dan tiba pada pelaksanaannya, sejak dimulainya sampai berakhirnya kegiatan itu, hampir dipastikan tidak ada yang meleset dari yang telah tertulis.
Yang cukup membuat decak kagum, mereka membuat jadwalnya dengan memberikan spare waktu, sesuai dengan karakter orang asing. Waktu yang tertulis dalam jadwal itu sudah termasuk hal-hal yang memungkinkan munculnya ke-lelet-an peserta yang nota-bene punya karakteryang tak sama satu dengan yang lain. Bisa dibayangkan membuat jadwal dengan padatnya acara pelatihan termasuk acara selingan yang kadang mengharuskan peserta menggunakan kendaraan umum itu rumitnya seperti apa,…terbayang dah. Misalnya, orang Rusia itu karena sangking PD nya sering kesasar, karena suka jalan sendiri meninggalkan rombongan. Atau juga karakter orang-orang Indonesia yang suka mepet-mepet itu seolah sudah termasuk dalam itungan waktu rincian jadwal, Karena bis atau shinkasen (kereta super cepat) itu gak bakalan bisa berhenti lebih dari semenit.
Bagaimana dengan kita yang tergolong dalam kategori P-time itu? Sebagai ilustrasinya, misalnya, kalau janjian dengan seseorang, ditengah perjalanannya bertemu dengan teman lain, waktu bisa terolor barang semenit dua menit tuk sekedar say hello. Beda dengan orang Jepang, say hello itu hanya dengan anggukan kecil waktu berpapasan ditambah juga perilaku khas yang ditujukkan pada wajah dan cara jalan, semuanya bisa tertangkap oleh orang lain, kalau orang tersebut itu dalam keadaan punya waktu yang tak banyak. Dan perilaku ketergesaan itu sangat dihargai dan dimaklumi oleh semua orang.
Itu sebabnya kualitas menghargai waktu orang Jepang itu baik. Ada cerita yang sering muncul dari orang asing yang menggunakan transportasi non kereta. Yaitu, ungkapan “terselamatkan oleh lampu merah traffic light”. Maksudnya, dengan bergantinya ke warna merah, bisa punya waktu tuk mempercepat langkah kaki atau kayuhan sepeda tuk bisa nyampe halte bis, beberapa detik sebelum bisnya datang. Karena tidak banyak sopir bis mau menunggu calon penumpang yang masih berusaha mengejar bis.
Tidak bisa dipungkiri, untuk bisa terlaksananya rencana dengan tepat waktu itu karena adanya dukungan dari semua pihak yang terkait. Mereka melakukannya seperti sistem roda gigi sebuah mesin jam, yang saling terkait dan saling mengisi gigi gigi rodanya untuk membuat jam tetep berjalan mulus, menepati janjinya pada sang alam.
Oleh sebab itu jika sampai terjadi keterlambatan, orang Jepang akan membuat alasan dengan menyalahkan diri sendiri, bukan karena bis atau penyebab lain diluar dirinya.
Kembali pada rasa malunya dilihat banyak orang, jika sampai diri sendiri ditegur orang lain, karena keterlambatannya. Karena itu tingkat ke-stress-an nya dalam hal mengejar waktu ini tinggi. Memilih tetap lelet tanpa stress, atau tepat waktu tapi dapatkan stress, atau tepat waktu dan stress juga no way.... balik lagi ke manusianya masing-masing.
Gimana? ada yang mau merasakan hidup di Jepang? jangan lupa untuk belajar bahasa jepang dulu yaa
Edit repost by Tsubomi House
Artikel by: Paras Tuti [Kompasiana]
Comments